Minggu, 19 Mei 2013

GEREJA NAMPAK DALAM SOSOK MARTA, MARIA DAN LAZARUS


A.    Situasi Umat Manusia dalam Kerapuhannya
Tidak mungkin dapat dipungkiri lagi bahwa zaman saat ini memaksa seseorang untuk bertindak dalam orientasi ke depan dan terus ke depan. Dapat dikatakan, bukan zamannya lagi jika saat ini masih ada orang yang beranggapan “hari ini untuk hari ini” atau “kerja pagi ini untuk malam nanti”. Persaingan kerja semakin gencar, hidup semakin keras dan kekuatiran akan hidup semakin besar namun pendapan/ income untuk keluarga atau untuk sendiri masih tergolong sangat minim bahkan beberapa orang terpaksa harus menuai kegagalan secara terus-menerus; terkadang tidak sebanding dengan usaha dan pengorbanan.
Kebutuhan hidup yang semakin mendesak ini menuntut seseorang untuk bertindak apa saja demi “menyelamatkan” sang hidup itu sendiri. Memang, hidup sangat berharga. Walau ada saja beberapa pihak yang sering mengabaikan akan pentingnya sebuah hidup. Munculnya beberapa kasus kekerasan di Tanah Air belakangan ini merupakan salah satu dampak tuntutan hidup yang semakin sulit. Sebut saja kasus: seorang gadis/ karyawati sebuah perusahaan swasta terpaksa mengakhiri hidupnya dengan cara menjatuhkan diri dari ketinggian 15 meter karena menghilangkan uang perusahaan dalam jumlah besar, seorang suami nekat membakar istri beserta kedua anaknya karena terlilit hutang, seorang ibu rumah tangga nekat mengakhiri hidupnya dengan cara meneguk racun hama potas karena dituduh selingkuh oleh suaminya, dan salah satu kasus baru-baru ini yang sempat populer di kalangan masyarakat yaitu kasus Syekh Puji yang menikahi secara siri Lutfiana Ulfa di Semarang yang baru berusia 12 tahun.
Pemerintah dan termasuk para aparat telah berusaha untuk memberikan solusi terhadap situasi ini. Ada beberapa yang mampu  langsung ditangani dan telah menemukan jalan keluarnya. Namun ada beberapa kasus pula yang tidak kunjung selesai bahkan hingga bertahun-tahun. Selain kasus di atas, kasus kekerasan, korupsi serta terorisme juga ikut mewarnai lembaran hitam di negara ini. Sebut saja dalam kasus kekerasan yang dilakukan oleh FPI (Front Pembela islam) dalam tragedi Monas dan kasus main hakim sendiri yang tetap melibatkan FPI sebagai dalang utamanya.mengatasnamakan agama untuk “menimbulkan keributan”. Kasus korupsi pun tidak kalah populer dengan kasus-kasus yang lainnya. Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa akar dari semua kehancuran bangsa salah satunya adalah korupsi. Jaringan korupsi tidak akan berakhir apabila tidak diberantas dari akar-akarnya. Hal ini dimaksudkan agar setiap tindakan dalam kehidupan sehari-hari layaknya manusia yang takut akan Allah sehingga hari demi hari tercipta lingkungan yang bebas dari korupsi. Kemudian kasus lainnya yang menuntut bukan hanya intern negara untuk bertndak melainkan dunia adalah kasus teroris. Terorisme ini marak terjadi dalam lingkungan/ golongan/ komunitas masyarakat. Jarang kasus teror muncul pada diri perseorangan. Beberapa contoh kasus terorisme yang pernah terjadi di Tanah Air yaitu, kasus bom Bali I dan kasus bom Bali II, teror bom di tempat-tempat ibadah, pusat perbelanjaan bahkan dalam lingkup instansi pemerintah. Status “kemanusiaan” seseorang pun terancam dengan maraknya ditemukan kasus mutilasi. Apakah ada perbedaan dari semua fakta yang telah dimunculkan di atas? Tidak. Semuanya sama saja yaitu target utmanya adalah manusia, individu tertentu. Nilai-nilai kemanusiaan mulai terabaikan dan kejahatan semakin memuncak di permukaan. Dalam hal ini, adakah yang masih peduli?
Gereja selalu menawarkan “kasih” pada setiap orang. Melalui kasih, Gereja juga mau memperkenalkan jatidirinya di tengah modernitas dengan bermacam ragam tingkah laku dan karakteristik seseorang. Seseorang yang mengalami kasih berarti ikut merasakan kasihNya yang tercurahkan kepada umatNya. Kasih bisa saja dalam bentuk saling menghormati dan saling menghargai dalam pluralitas agama, budaya dan situasi sosial masyarakat tertentu. Kasih juga dapat berwujud perdamaian; baik berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan orang lain maupun berdamai dengan alam semesta tempat si manusia berada. Fakta-fakta dalam kasus di atas menunjukan bahwa betapa sulitnya mewujudkan kasih pada diri sendiri dan kepada orang  lain. Dan dari fakta-fakta itu pula menunjukan bahwa betapa sulitnya memahami arti kasih itu sendiri, yang mungkin saja dapat diwujudkan dengan mudah tanpa ada adu kekerasan, penipuan dan kesombongan.
Gereja memberikan cermin bagi manusia zaman sekarang dalam terang kasih Kristus yang rela memberikan nyawaNya demi penebusan dosa umat manusia. Namun berbicara tentang Gereja dalam terang kasih Kristus maka terlebih dahulu harus melihat siapa Gereja itu sebenarnya. Dalam penjelasan selanjutnya ini akan dibahas mengenai sosok Gereja yang tercermin dalam jati diri Marta, Maria dan Lazarus manurut gambaran Injil Yohanes.

B.     “Mengapa” Marta, Maria dan Lazarus?
 Marta, Maria dan Lazarus adalah orang-orang yang selalu setia memberikan tumpangan/ penginapan bagi Yesus saat berkunjung ke Yerusalem. Yesus juga memiliki kenangan dengan mereka bertiga, karena melalui mereka (Marta, Maria dan Lazarus) Yesus dapat beristirahat sejenak dalam pewartaanNya, khususnya ketika mewartakan Kerajaan Allah di daerah Betania, Yerusalem. Begitu juga yang dijelaskan oleh Adi Susila (1987: 184) berikut ini: “bila Betania merupakan tempat penginapan bagi Yesus kalau Ia datang ke Yerusalem, kiranya cukup beralasan bila dikatakan bahwa di rumah inilah Yesus tinggal dan bahwa penghuninya merupakan teman-temannya yang begitu akrab”.
Sosok ketika teman-teman akrabNya ini, Yesus tidak dapat menyembunyikan perasaan manusiawinya sebagai seorang yang membutuhkan orang lain dalam dalam hidupNya. Di sinilah Yesus mau menunjukan pada manusia suatu sisi hubungan manusia dengan manusia yang membutuhkan perhatian khusus, dan sangat perlu dipertahankan. Manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang selalu membutuhkan orang lain. Walau seberapa besar kemampuan seseorang untuk bertahan sendirian namun suatu saat dirinya pasti membutuhkan uluran tangan dan kasih orang lain terhadapnya. Dan hal demikianlah yang mau ditunjukan oleh Yesus historis dalam sisi manusiawiNya bahwa penting mempertahankan hubungan sosial dengan sesama manusia.
Dalam arti yang sesungguhnya menurut Adi Susila (1987: 184) bahwa Yohanes menggunakan kenang-kenangan ketika bersama Marta, Maria dan Lazarus justru untuk menunjukan maksud teologis. Lazarus, yang disebutkan merupakan teman dekat Yesus selain Marta dan Maria, merupakan orang yang dicintai Yesus; diangkat dan ditampilkan sebagai wakil orang yang dicintai Yesus yakni orang-orang Kristen.



C.     Lazarus dalam Yoh 11:1-41
Telah dikemukakan di atas tadi bahwa Lazarus mendapat tempat istimewa dalam kisah perjalanan Yesus selama mewartakan Kerajaan Allah di daerah Betania hingga Yerusalem. Dalam Yoh 11:1-41 dikisahkan bahwa Lazarus meninggal karena sakit yang dideritanya selama beberapa waktu. Menurut Marta (dalam kisah tersebut), Lazarus meninggal karena Yesus kurang cepat datang ke rumah mereka sehingga mengakibatkan Lazarus meninggal dalam penderitaan sakit yang dialaminya. Namun apa yang dimaksudkan Marta ini berbanding terbalik dengan maksud Injil yang menerangkan tentang kematian Lazarus.
Sebelum kisah ini, dalam mukjizat lain yaitu cerita penyembuhan orang buta (Yoh 9:1-41). Kebutaan yang dimaksudkan di sini dipakai oleh Allah  untuk mewahyukan diriNya melalui karya Yesus Kristus PuteraNya yang telah memberikan anugerah kesembuhan. Maka dalam Yoh 11:1-41 ini, Lazarus yang diceritakan merupakan orang sakit yang mengundang perhatian banyak orang. Kisah penderitaan Lazarus ini dimaksudkan untuk menyatakan kemuliaan Tuhan, karena kemuliaan Allah akan terbukti hanya kalau Anak Manusia dimuliakan. Mukjizat pembangkitan Lazarus oleh Yesus ini akan memuliakan Yesus, bukan dalam arti bahwa kemudian orang-orang akan mengagumi dan menyembahNya, melainkan dalam arti bawa hal ini menunjuk padakematianNya, yang merupakan langkah menuju  kepada kemuliaanNya (Yoh 12:23-24; 17:1).
Inilah peranan penting Lazarus dalam Yoh 11:1-41 ini. Menurut pandangan Marta dan Maria, Yesus adalah orang yang lamban dan kurang memberi perhatian terhadap saudaranya, teman dekatnya. Yesus seolah membiarkan Lazarus meninggal. Namun dalam hal ini, bukan Marta dan Maria berati tidak memiliki peran dalam kisah pemuliaan Anak Manusia dalam Yoh 11:1-41, mereka (Marta dan Maria) mempunyai bagian sendiri-sendiri. Ada saatnya peran Marta dan Maria diperhitungkan dalam sejarah pewartaan Yesus Kristus selama hidupNya. Namun terlebih dahulu kematian Lazarus seperti sebuah dramatisasi yang telah diatur oleh Yesus sendiri agar  mengundang perhatian banyak orang sehingga ikut menyaksikan bahwa Anak Manusia itu sudah saatnya dimuliakan melalui kematian Lazarus; saudaraNya dan teman dekatNya. Namun yang lebih penting lagi bahwa Yesus menunjukan kemuliaanNya diantara orang banyak melalui orang-orang terdekatNya. Melalui peristiwa inilah Yesus juga mau menunjukan cintaNya terhadap orang Kristen.
Dramatisasi pemuliaan yang seolah direncanakan tersebut memberi jalan agar Yesus menunda kedatanganNya untuk menjenguk Lazarus. Namun hal yang lebih penting lagi dalam hal ini bahwa penundaan kedatangan Yesus  untuk menjenguk Lazarus tidaklah dimaksudkan untuk membiarkan Lazarus meninggal, tetapi untuk menunggu saat Tuhan datang. Adi Susila (1987: 186) menyebutkan bahwa “benarlah bahwa Yesus tergantung pada pada saat Tuhan  datang dan menolak  berbuat sesuatu sampai sabda diberikan”. Di sini pulalah penginjil mau menunjukan dalam konteks umat Kristiani bahwa Yesus berjuang untuk menyatukan kehendakNya dengan kehendak BapaNya (Yoh 12:27 dan seterusnya). Menurut Yohanes, hidup Yesus adalah terus  menerus “terjadiah kehendakMu”, sebab Yesus tidak bisa mengerjakan sesuatu dari diriNya sendiri (Yoh 5:19). Makanan satu-satunya adalah melakukan kehendak Bapa (Yoh 4:34). Yesus begitu percaya kepada Bapa karena Ia selalu melakukan apa yang menyenangkan BapaNya (1Yoh 3:21-22).

D.    Marta dan Perannya dalam karya Yesus
Seperti yang telah terungkapkan di atas tadi bahwa Marta dan Maria memiliki peran masing-masing dalam karya penyelamatan Yesus Kristus. Dalam memberikan pelayanannya, Marta dan Maria pun memiliki perbedaan. Berikut ini akan dipaparkan terlebih dahulu peran Marta ketika berhadapan dengan Yesus ketika masih dalam suasana berkabung karena saudaranya Lazarus meninggal.
“Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati” (ay. 21.23). begitulah sambutan pertama ketika mereka tahu kalau yang datang adalah Yesus Kristus. Marta digambarkan sebagai orang yang sibuk melayani (dalam Luk 10:38-42). Namun berbeda dalam injil Yohanes, Marta digambarkan demikian; ketika mereka tahu bahwa yang datang adalah Yesus maka bergegaslah Marta keluar dari rumah dan menemui Yesus.
Dalam injil Yohanes, Marta diteliti sebagai tokoh yang percaya pada Yesus namun tidak cukup memadai. Dalam pembuktiannya pada ayat 27, Marta menyebut Yesus dengan gelar yang agung, yang mungkin sebutan Marta ini dipakai juga dalam pengakuan iman orang-orang Kristen awal. Kepercayaan yang kurang memadai itu dibuktikan dalam ayat 39. di situ diperlihatkan bahwa Marta belum percaya dengan sungguh-sungguh bahwa Yesus mampu memberi hidup. Ia memandang Yesus hanya sebagai seorang pengantara yang didengarkan oleh Allah (ay.22), tetapi ia tidak mengerti bahwa Yesus adalah hidup itu sendiri (ay. 25).
Dari pertanyaan Marta pada ay. 22 lebih menunjuk pada pengakuan, bukan merupakan sebuah permintaan. Di sini pula nampak sebuah harapan yang setengah-setengah terhadap kuasa Yesus, ia ragu akan Yesus yang Dia sendiri adalah hidup itu namun Marta kurang percaya.  Harapan yang setengah-setengah ini pun diperkuat dengan perkataan Marta, “Tuhan, ia sudah berbau, sebab sudah empat hari ia mati”.
Gambaran orang Kristiani yang ada pada diri Marta ini nampak jelas pada diri seseorang yang memiliki iman dengan pondasi lemah. Badai terkecil sekalipun pasti mampu menggoyahkan imannya. Sifat keragu-raguan Marta terpancar dalam jati diri orang Kristiani dalam lingkungan minoritas. Mereka malu untuk menunjukan bahwa Yesus Kristus adalah Pokok iman dan yang diimani. Contoh konkret dapat langsung disebutkan yang sering terjadi di lingkungan sehari-hari umat Kristen. Sebut saja, seorang Kristiani yang sedang makan di tempat umum. Hal yang seharusnya  ia lakukan sebelum makan adalah membuat tanda salib dan berdoa. Namun ia berpendapat, “lebih baik saya tanda salib dalam hati saja, malu dilihat orang banyak, toh saya tetap mengakui Yesus Kristus...”. Keragu-raguan muncul pada saat berhadapan dengan orang yang berbeda keyakinan dengan diri kita. Merasa minder dan merasa diperhatikan orang banyak padahal hal tersebut hanyalah sebuah perasaan yang seharusnya dibuang jauh.
Dalam prosesi “membangkitkan” Lazarus, sekali lagi Yesus menegaskan tentang “Akulah kebangkitan” dan “Akulah hidup”. Sekali lagi pula Marta salah mengartikan arti kebangkitan menurut Yesus. Yesus mengungkapkan pernyataan ini karena Ia mau memberi penjelasan tentang kebangkitan pada akhir Zaman. Yesus menyampaikan pada Marta tentang realisasi dari apa yang diharapkan pada akhir zaman. Yesus adalah kebangkitan; barangsiapa percaya padaNya, walaupun sudah mati, ia akan hidup selama-lamanya. Yang dimaksudkan dengan hidup dalam ay 25 adalah hidup dari atas yang diturunkan melalui Roh Kudus, dan hidup itu mengatasi kematian badani.
Peran Marta dalam karya penyelamatanNya juga membuka gelar-gelar Yesus seperti yang ada pada Perjanjian Baru. Dalam Yoh 11, Marta dibuat mengerti oleh Yesus akan kuasa hidup yang dapat diberikanNya saat itu. Prosesi kebangkitan Lazarus membuka mata Marta akan kuasa Yesus pada kebangkitan dan hidup, namun terlebih itu adalah dengan kebangkitan Lazarus tersebut ikut membuka mata orang Kristiani pada Sang Iman. Walaupun Marta dalam kisah itu dikisahkan orang yang percaya tapi tidak memadai namun Marta telah menunjukkan bahwa dirinya adalah sosok yang teguh.

E.      Maria dan Perannya dalam Karya Yesus
Berbeda dengan Marta, Maria mengambil porsi lain ketika Yesus datang dan bermaksud akan langsung masuk dalam rumah mereka. Maria mengatakan hal yang sama dengan Marta “sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati”. Namun Marta nenambahkan “tetapi sekarang pun aku tahu, bahwa Allah akan memberikan kepadaMu segala sesuatu yang Engkau minta padaNya”. Tindakan yang dilakukan kedua bersaudara ini ketika menyambut Yesus terlihat sangat berbeda. Ketika Marta berbicara seperti yang di atas, tindakan Maria, ia hanya jatuh pada kaki Yesus (ay 32), dan menangis. Tindakan Maria ini mengundang kemarahan Yesus, dan Yesus juga ikut menangis karena menyaksikan kurangnya iman Maria, bahkan juga ketidakpercayaan orang Yahudi. Semua orang yang hadir  mengalami krisis iman dan kepercayaan.
Suasana kerapuhan inilah juga yang menjadi dorongan Yesus untuk melakukan tindakan yaitu membangkitkan Lazarus. Di samping itu Ia juga melihat iman Maria yang begitu rapuh ketika mengalami kehilangan saudaranya Lazarus.
Gereja pun sering mengalami krisis iman seperti yang dialami Maria dan orang-orang Yahudi. Gereja membutuhkan sebuah pembuktian langsung bahwa imannya tak tertandingi dengan ancaman-ancaman yang ada di luar sana. Gereja membutuhkan Gembala yang mampu membawa mereka ke dalam iman yang dalam. Namun yang dimaksudkan Yesus sangat berbeda dengan situasi tersebut. Yesus menginginkan kepercayaan yang utuh dan total bahwa diriNya adalah hidup itu sendiri, dan hidup itu berasal dariNya. Tidak ada keragu-raguan akan kuasa Yesus.