A. Situasi Umat Manusia dalam Kerapuhannya
Tidak mungkin dapat dipungkiri
lagi bahwa zaman saat ini memaksa seseorang untuk bertindak dalam orientasi ke
depan dan terus ke depan. Dapat dikatakan, bukan zamannya lagi jika saat ini
masih ada orang yang beranggapan “hari ini untuk hari ini” atau “kerja pagi ini
untuk malam nanti”. Persaingan kerja semakin gencar, hidup semakin keras dan
kekuatiran akan hidup semakin besar namun pendapan/ income untuk keluarga atau untuk sendiri masih tergolong sangat
minim bahkan beberapa orang terpaksa harus menuai kegagalan secara
terus-menerus; terkadang tidak sebanding dengan usaha dan pengorbanan.
Kebutuhan hidup yang semakin
mendesak ini menuntut seseorang untuk bertindak apa saja demi “menyelamatkan”
sang hidup itu sendiri. Memang, hidup sangat berharga. Walau ada saja beberapa
pihak yang sering mengabaikan akan pentingnya sebuah hidup. Munculnya beberapa
kasus kekerasan di Tanah Air belakangan ini merupakan salah satu dampak tuntutan
hidup yang semakin sulit. Sebut saja kasus: seorang gadis/ karyawati sebuah
perusahaan swasta terpaksa mengakhiri hidupnya dengan cara menjatuhkan diri
dari ketinggian 15 meter karena menghilangkan uang perusahaan dalam jumlah
besar, seorang suami nekat membakar istri beserta kedua anaknya karena terlilit
hutang, seorang ibu rumah tangga nekat mengakhiri hidupnya dengan cara meneguk
racun hama potas karena dituduh selingkuh oleh suaminya, dan salah satu kasus
baru-baru ini yang sempat populer di kalangan masyarakat yaitu kasus Syekh Puji
yang menikahi secara siri Lutfiana Ulfa di Semarang yang baru berusia 12 tahun.
Pemerintah dan termasuk para
aparat telah berusaha untuk memberikan solusi terhadap situasi ini. Ada
beberapa yang mampu langsung ditangani
dan telah menemukan jalan keluarnya. Namun ada beberapa kasus pula yang tidak
kunjung selesai bahkan hingga bertahun-tahun. Selain kasus di atas, kasus
kekerasan, korupsi serta terorisme juga ikut mewarnai lembaran hitam di negara
ini. Sebut saja dalam kasus kekerasan yang dilakukan oleh FPI (Front Pembela
islam) dalam tragedi Monas dan kasus main hakim sendiri yang tetap melibatkan
FPI sebagai dalang utamanya.mengatasnamakan agama untuk “menimbulkan
keributan”. Kasus korupsi pun tidak kalah populer dengan kasus-kasus yang
lainnya. Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa akar dari semua
kehancuran bangsa salah satunya adalah korupsi. Jaringan korupsi tidak akan
berakhir apabila tidak diberantas dari akar-akarnya. Hal ini dimaksudkan agar setiap
tindakan dalam kehidupan sehari-hari layaknya manusia yang takut akan Allah
sehingga hari demi hari tercipta lingkungan yang bebas dari korupsi. Kemudian kasus
lainnya yang menuntut bukan hanya intern negara untuk bertndak melainkan dunia
adalah kasus teroris. Terorisme ini marak terjadi dalam lingkungan/ golongan/
komunitas masyarakat. Jarang kasus teror muncul pada diri perseorangan.
Beberapa contoh kasus terorisme yang pernah terjadi di Tanah Air yaitu, kasus
bom Bali I dan kasus bom Bali II, teror bom di tempat-tempat ibadah, pusat
perbelanjaan bahkan dalam lingkup instansi pemerintah. Status “kemanusiaan”
seseorang pun terancam dengan maraknya ditemukan kasus mutilasi. Apakah ada
perbedaan dari semua fakta yang telah dimunculkan di atas? Tidak. Semuanya sama
saja yaitu target utmanya adalah manusia, individu tertentu. Nilai-nilai
kemanusiaan mulai terabaikan dan kejahatan semakin memuncak di permukaan. Dalam
hal ini, adakah yang masih peduli?
Gereja selalu menawarkan “kasih”
pada setiap orang. Melalui kasih, Gereja juga mau memperkenalkan jatidirinya di
tengah modernitas dengan bermacam ragam tingkah laku dan karakteristik
seseorang. Seseorang yang mengalami kasih berarti ikut merasakan kasihNya yang
tercurahkan kepada umatNya. Kasih bisa saja dalam bentuk saling menghormati dan
saling menghargai dalam pluralitas agama, budaya dan situasi sosial masyarakat
tertentu. Kasih juga dapat berwujud perdamaian; baik berdamai dengan diri
sendiri, berdamai dengan orang lain maupun berdamai dengan alam semesta tempat
si manusia berada. Fakta-fakta dalam kasus di atas menunjukan bahwa betapa
sulitnya mewujudkan kasih pada diri sendiri dan kepada orang lain. Dan dari fakta-fakta itu pula
menunjukan bahwa betapa sulitnya memahami arti kasih itu sendiri, yang mungkin
saja dapat diwujudkan dengan mudah tanpa ada adu kekerasan, penipuan dan
kesombongan.
Gereja memberikan cermin bagi
manusia zaman sekarang dalam terang kasih Kristus yang rela memberikan nyawaNya
demi penebusan dosa umat manusia. Namun berbicara tentang Gereja dalam terang
kasih Kristus maka terlebih dahulu harus melihat siapa Gereja itu sebenarnya.
Dalam penjelasan selanjutnya ini akan dibahas mengenai sosok Gereja yang
tercermin dalam jati diri Marta, Maria dan Lazarus manurut gambaran Injil
Yohanes.
B. “Mengapa” Marta, Maria dan Lazarus?
Marta, Maria dan Lazarus adalah orang-orang
yang selalu setia memberikan tumpangan/ penginapan bagi Yesus saat berkunjung
ke Yerusalem. Yesus juga memiliki kenangan dengan mereka bertiga, karena
melalui mereka (Marta, Maria dan Lazarus) Yesus dapat beristirahat sejenak
dalam pewartaanNya, khususnya ketika mewartakan Kerajaan Allah di daerah
Betania, Yerusalem. Begitu juga yang dijelaskan oleh Adi Susila (1987: 184)
berikut ini: “bila Betania merupakan tempat penginapan bagi Yesus kalau Ia
datang ke Yerusalem, kiranya cukup beralasan bila dikatakan bahwa di rumah
inilah Yesus tinggal dan bahwa penghuninya merupakan teman-temannya yang begitu
akrab”.
Sosok ketika teman-teman
akrabNya ini, Yesus tidak dapat menyembunyikan perasaan manusiawinya sebagai
seorang yang membutuhkan orang lain dalam dalam hidupNya. Di sinilah Yesus mau
menunjukan pada manusia suatu sisi hubungan manusia dengan manusia yang
membutuhkan perhatian khusus, dan sangat perlu dipertahankan. Manusia adalah
makhluk sosial, makhluk yang selalu membutuhkan orang lain. Walau seberapa
besar kemampuan seseorang untuk bertahan sendirian namun suatu saat dirinya
pasti membutuhkan uluran tangan dan kasih orang lain terhadapnya. Dan hal
demikianlah yang mau ditunjukan oleh Yesus historis dalam sisi manusiawiNya
bahwa penting mempertahankan hubungan sosial dengan sesama manusia.
Dalam arti yang sesungguhnya
menurut Adi Susila (1987: 184) bahwa Yohanes menggunakan kenang-kenangan ketika
bersama Marta, Maria dan Lazarus justru untuk menunjukan maksud teologis.
Lazarus, yang disebutkan merupakan teman dekat Yesus selain Marta dan Maria,
merupakan orang yang dicintai Yesus; diangkat dan ditampilkan sebagai wakil
orang yang dicintai Yesus yakni orang-orang Kristen.
C. Lazarus dalam Yoh 11:1-41
Telah dikemukakan di atas tadi
bahwa Lazarus mendapat tempat istimewa dalam kisah perjalanan Yesus selama mewartakan
Kerajaan Allah di daerah Betania hingga Yerusalem. Dalam Yoh 11:1-41 dikisahkan
bahwa Lazarus meninggal karena sakit yang dideritanya selama beberapa waktu.
Menurut Marta (dalam kisah tersebut), Lazarus meninggal karena Yesus kurang
cepat datang ke rumah mereka sehingga mengakibatkan Lazarus meninggal dalam
penderitaan sakit yang dialaminya. Namun apa yang dimaksudkan Marta ini
berbanding terbalik dengan maksud Injil yang menerangkan tentang kematian
Lazarus.
Sebelum kisah ini, dalam
mukjizat lain yaitu cerita penyembuhan orang buta (Yoh 9:1-41). Kebutaan yang
dimaksudkan di sini dipakai oleh Allah
untuk mewahyukan diriNya melalui karya Yesus Kristus PuteraNya yang
telah memberikan anugerah kesembuhan. Maka dalam Yoh 11:1-41 ini, Lazarus yang
diceritakan merupakan orang sakit yang mengundang perhatian banyak orang. Kisah
penderitaan Lazarus ini dimaksudkan untuk menyatakan kemuliaan Tuhan, karena
kemuliaan Allah akan terbukti hanya kalau Anak Manusia dimuliakan. Mukjizat
pembangkitan Lazarus oleh Yesus ini akan memuliakan Yesus, bukan dalam arti
bahwa kemudian orang-orang akan mengagumi dan menyembahNya, melainkan dalam
arti bawa hal ini menunjuk padakematianNya, yang merupakan langkah menuju kepada kemuliaanNya (Yoh 12:23-24; 17:1).
Inilah peranan penting Lazarus
dalam Yoh 11:1-41 ini. Menurut pandangan Marta dan Maria, Yesus adalah orang
yang lamban dan kurang memberi perhatian terhadap saudaranya, teman dekatnya.
Yesus seolah membiarkan Lazarus meninggal. Namun dalam hal ini, bukan Marta dan
Maria berati tidak memiliki peran dalam kisah pemuliaan Anak Manusia dalam Yoh
11:1-41, mereka (Marta dan Maria) mempunyai bagian sendiri-sendiri. Ada saatnya
peran Marta dan Maria diperhitungkan dalam sejarah pewartaan Yesus Kristus
selama hidupNya. Namun terlebih dahulu kematian Lazarus seperti sebuah
dramatisasi yang telah diatur oleh Yesus sendiri agar mengundang perhatian banyak orang sehingga
ikut menyaksikan bahwa Anak Manusia itu sudah saatnya dimuliakan melalui
kematian Lazarus; saudaraNya dan teman dekatNya. Namun yang lebih penting lagi bahwa
Yesus menunjukan kemuliaanNya diantara orang banyak melalui orang-orang
terdekatNya. Melalui peristiwa inilah Yesus juga mau menunjukan cintaNya terhadap
orang Kristen.
Dramatisasi pemuliaan yang
seolah direncanakan tersebut memberi jalan agar Yesus menunda kedatanganNya
untuk menjenguk Lazarus. Namun hal yang lebih penting lagi dalam hal ini bahwa
penundaan kedatangan Yesus untuk
menjenguk Lazarus tidaklah dimaksudkan untuk membiarkan Lazarus meninggal,
tetapi untuk menunggu saat Tuhan datang. Adi Susila (1987: 186) menyebutkan
bahwa “benarlah bahwa Yesus tergantung pada pada saat Tuhan datang dan menolak berbuat sesuatu sampai sabda diberikan”. Di
sini pulalah penginjil mau menunjukan dalam konteks umat Kristiani bahwa Yesus
berjuang untuk menyatukan kehendakNya dengan kehendak BapaNya (Yoh 12:27 dan
seterusnya). Menurut Yohanes, hidup Yesus adalah terus menerus “terjadiah kehendakMu”, sebab Yesus
tidak bisa mengerjakan sesuatu dari diriNya sendiri (Yoh 5:19). Makanan
satu-satunya adalah melakukan kehendak Bapa (Yoh 4:34). Yesus begitu percaya kepada
Bapa karena Ia selalu melakukan apa yang menyenangkan BapaNya (1Yoh 3:21-22).
D. Marta dan Perannya dalam karya Yesus
Seperti yang telah
terungkapkan di atas tadi bahwa Marta dan Maria memiliki peran masing-masing
dalam karya penyelamatan Yesus Kristus. Dalam memberikan pelayanannya, Marta dan
Maria pun memiliki perbedaan. Berikut ini akan dipaparkan terlebih dahulu peran
Marta ketika berhadapan dengan Yesus ketika masih dalam suasana berkabung karena
saudaranya Lazarus meninggal.
“Tuhan, sekiranya Engkau ada
di sini, saudaraku pasti tidak mati” (ay. 21.23). begitulah sambutan pertama
ketika mereka tahu kalau yang datang adalah Yesus Kristus. Marta digambarkan
sebagai orang yang sibuk melayani (dalam Luk 10:38-42). Namun berbeda dalam
injil Yohanes, Marta digambarkan demikian; ketika mereka tahu bahwa yang datang
adalah Yesus maka bergegaslah Marta keluar dari rumah dan menemui Yesus.
Dalam injil Yohanes, Marta
diteliti sebagai tokoh yang percaya pada Yesus namun tidak cukup memadai. Dalam
pembuktiannya pada ayat 27, Marta menyebut Yesus dengan gelar yang agung, yang
mungkin sebutan Marta ini dipakai juga dalam pengakuan iman orang-orang Kristen
awal. Kepercayaan yang kurang memadai itu dibuktikan dalam ayat 39. di situ
diperlihatkan bahwa Marta belum percaya dengan sungguh-sungguh bahwa Yesus
mampu memberi hidup. Ia memandang Yesus hanya sebagai seorang pengantara yang
didengarkan oleh Allah (ay.22), tetapi ia tidak mengerti bahwa Yesus adalah
hidup itu sendiri (ay. 25).
Dari pertanyaan Marta pada ay.
22 lebih menunjuk pada pengakuan, bukan merupakan sebuah permintaan. Di sini
pula nampak sebuah harapan yang setengah-setengah terhadap kuasa Yesus, ia ragu
akan Yesus yang Dia sendiri adalah hidup itu namun Marta kurang percaya. Harapan yang setengah-setengah ini pun
diperkuat dengan perkataan Marta, “Tuhan, ia sudah berbau, sebab sudah empat
hari ia mati”.
Gambaran orang Kristiani yang
ada pada diri Marta ini nampak jelas pada diri seseorang yang memiliki iman
dengan pondasi lemah. Badai terkecil sekalipun pasti mampu menggoyahkan imannya.
Sifat keragu-raguan Marta terpancar dalam jati diri orang Kristiani dalam
lingkungan minoritas. Mereka malu untuk menunjukan bahwa Yesus Kristus adalah
Pokok iman dan yang diimani. Contoh konkret dapat langsung disebutkan yang
sering terjadi di lingkungan sehari-hari umat Kristen. Sebut saja, seorang
Kristiani yang sedang makan di tempat umum. Hal yang seharusnya ia lakukan sebelum makan adalah membuat tanda
salib dan berdoa. Namun ia berpendapat, “lebih baik saya tanda salib dalam hati
saja, malu dilihat orang banyak, toh saya tetap mengakui Yesus Kristus...”. Keragu-raguan
muncul pada saat berhadapan dengan orang yang berbeda keyakinan dengan diri
kita. Merasa minder dan merasa diperhatikan orang banyak padahal hal tersebut
hanyalah sebuah perasaan yang seharusnya dibuang jauh.
Dalam prosesi “membangkitkan”
Lazarus, sekali lagi Yesus menegaskan tentang “Akulah kebangkitan” dan “Akulah
hidup”. Sekali lagi pula Marta salah mengartikan arti kebangkitan menurut
Yesus. Yesus mengungkapkan pernyataan ini karena Ia mau memberi penjelasan tentang
kebangkitan pada akhir Zaman. Yesus menyampaikan pada Marta tentang realisasi
dari apa yang diharapkan pada akhir zaman. Yesus adalah kebangkitan;
barangsiapa percaya padaNya, walaupun sudah mati, ia akan hidup selama-lamanya.
Yang dimaksudkan dengan hidup dalam ay 25 adalah hidup dari atas yang
diturunkan melalui Roh Kudus, dan hidup itu mengatasi kematian badani.
Peran Marta dalam karya penyelamatanNya
juga membuka gelar-gelar Yesus seperti yang ada pada Perjanjian Baru. Dalam Yoh
11, Marta dibuat mengerti oleh Yesus akan kuasa hidup yang dapat diberikanNya
saat itu. Prosesi kebangkitan Lazarus membuka mata Marta akan kuasa Yesus pada
kebangkitan dan hidup, namun terlebih itu adalah dengan kebangkitan Lazarus
tersebut ikut membuka mata orang Kristiani pada Sang Iman. Walaupun Marta dalam
kisah itu dikisahkan orang yang percaya tapi tidak memadai namun Marta telah
menunjukkan bahwa dirinya adalah sosok yang teguh.
E. Maria
dan Perannya dalam Karya Yesus
Berbeda dengan Marta, Maria
mengambil porsi lain ketika Yesus datang dan bermaksud akan langsung masuk
dalam rumah mereka. Maria mengatakan hal yang sama dengan Marta “sekiranya
Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati”. Namun Marta nenambahkan
“tetapi sekarang pun aku tahu, bahwa Allah akan memberikan kepadaMu segala
sesuatu yang Engkau minta padaNya”. Tindakan yang dilakukan kedua bersaudara
ini ketika menyambut Yesus terlihat sangat berbeda. Ketika Marta berbicara
seperti yang di atas, tindakan Maria, ia hanya jatuh pada kaki Yesus (ay 32),
dan menangis. Tindakan Maria ini mengundang kemarahan Yesus, dan Yesus juga
ikut menangis karena menyaksikan kurangnya iman Maria, bahkan juga
ketidakpercayaan orang Yahudi. Semua orang yang hadir mengalami krisis iman dan kepercayaan.
Suasana kerapuhan inilah juga
yang menjadi dorongan Yesus untuk melakukan tindakan yaitu membangkitkan
Lazarus. Di samping itu Ia juga melihat iman Maria yang begitu rapuh ketika
mengalami kehilangan saudaranya Lazarus.
Gereja pun sering mengalami
krisis iman seperti yang dialami Maria dan orang-orang Yahudi. Gereja
membutuhkan sebuah pembuktian langsung bahwa imannya tak tertandingi dengan
ancaman-ancaman yang ada di luar sana. Gereja membutuhkan Gembala yang mampu
membawa mereka ke dalam iman yang dalam. Namun yang dimaksudkan Yesus sangat
berbeda dengan situasi tersebut. Yesus menginginkan kepercayaan yang utuh dan
total bahwa diriNya adalah hidup itu sendiri, dan hidup itu berasal dariNya. Tidak
ada keragu-raguan akan kuasa Yesus.